blog how to, blog trick, blog tips, tutorial blog, blog hack

HEADLINE NEWS

Tujuh Jaksa Nakal Dapat Sanksi

Sunday, July 27, 2008
Tujuh jaksa nakal di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi selama setahun (Juli 2007 - Juli 2008), mendapat sanksi disiplin karena telah melanggar peraturan dan hukum.

Selain jaksa nakal dan tidak disiplin, Kejati Jambi juga memberikan sanksi kepada tiga pegawai tata usaha yang mendapat hukuman disiplin, kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Jambi, Andi Azhari SH, Minggu.

Ketujuh jaksa yang mendapat sanksi tersebut, tiga di antaranya menerima hukuman disiplin tingkat berat, dua disiplin tingkat sedang dan dua lagi kategori ringan.

Sedangkan tiga pegawai tata usaha Kejati Jambi yang mendapatkan hukuman semuanya menerima sanki tingkat sedang, kata Andi Azhari tanpa merincikan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku.

Selain itu bidang pengawasan Kejati Jambi selama setahun ini telah menerima dan memeriksa laporan masuk terhadap pegawai Kejati Jambi yang melanggar disiplin dan hukum.

Jumlah laporan yang sedang ditangani bidang pengawasan Kejati Jambi ada 14 kasus, sepuluh kasus sisa kasus pada 2007 sedangkan enam bulan terakhir tahun ini ada empat kasus aduan.

Kejati Jambi sudah menyelesaikan dan menjatuhkan sanksi kepada pegawai yang nakal sebanyak tujuh kasus, sisanya belum bisa ditangani karena masih menunggu petunjuk dari Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas).(*)
Read Full 0 comments

Koruptor? Dihukum Mati saja!

Friday, July 25, 2008
Wacana hukuman mati bagi para koruptor terus bergulir. Pro kontra antara kelompok yang mendukung maupun menolak, semakin panas. Ketua Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM, Denny Indrayana menyatakan secara tegas setuju dengan penerapan hukuman mati bagi para koruptor. Catatannya, diberikan ketentuan pada tingkatan korupsi seperti apa hukuman tersebut dapat diterapkan.

"Menurut saya, kasus kejahatan yang patut dijatuhi hukuman mati adalah korupsi. Korupsi ini mempunyai kesamaan dampak buruk dengan kejahatan lainnya, bahkan lebih besar dampaknya. Tapi harus diterapkan dengan karakteristik-karakteristik tertentu," kata Denny dalam diskusi "Hukuman Mati bagi Koruptor" di Jakarta, Sabtu (26/7).

Karakteristik yang dimaksud Denny, melihat kasus korupsi dari sisi jumlah korupsinya dan apakah pelaku pernah dihukum untuk kasus korupsi. "Jadi, kalau dia sudah pernah korupsi, kemudian korupsi lagi berarti inikan tidak ada efek jeranya," kata dia.

Pengamat sosial, Fajroel Rahman justru berpendapat sebaliknya. Menurutnya, penerapan hukuman mati merupakan tindakan pelanggaran HAM. "Ini lebih ke sifat moral, hanya Tuhan yang punya hak untuk mencabut nyawa manusia. Saya pernah satu sel dengan orang yang akan dihukum mati, saya tahu betul bagaimana rasanya menanti eksekusi. Saya pikir, hukuman seumur hidup lebih dari cukup untuk menghukum seeorang," ujar Fajroel.

Kata Denny, jika dilihat dari proses eksekusi, ia setuju jika hukuman mati tidak manusiawi. Sebab sebelum eksekusi, seorang terpidana harus menunggu untuk waktu yang lama dan proses yang bertele-tele. Kedepannya, ia mengatakan, perlu adanya waktu eksekusi yang jelas. Sehingga tidak membuat terpidana hukuman mati terkatung-katung. "Tapi, walaupun hukum kita membuka peluang untuk itu, kita belum pernah menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor. Hingga saat ini, yang hilang dari sistem hukum kita adalah penjeraan," kata Denny.

Anggota Komisi III DPR, Soeripto berpendapat, penerapan hukuman mati bagi koruptor dapat dilakukan secara bertahap. Ia mencontohkan, bisa diterapkan dalam jangka waktu 10 tahu kedepan, kemudian dilakukan evaluasi. "Untuk konteks Indonesia, hukuman mati bagi koruptor ini harus diterapkan. Kondisi di Indonesia saat ini, menurut saya, sangat memenuhi untuk menerapkan itu. Tapi harus diterapkan jangan pilih-pilih," ujar Soeripto.
Read Full 0 comments

Mantan Petinggi Jabar Diperiksa KPK

Thursday, July 24, 2008
Penulis : Ita Malau

Dua mantan Gubernur Jawa Barat Nuriana dan Danny Setiawan dijadwalkan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun, hanya Nuriana yang memenuhi panggilan pemeriksaan tersebut. Gubernur Jabar 1993-2003 itu datang pada pukul 09.00 WIB. Seusai diperiksa 5 jam, Nuriana yang mengenakan kemeja biru muda itu menolak memberikan keterangan kepada wartawan.

Menurut juru bicara KPK Johan Budi SP, Danny tidak bisa memenuhi panggilan karena ada keperluan lain. "Dia sudah mengirim surat dan mengatakan dirinya harus menghadiri satu acara penghargaan,"ujar Johan.

Ia menambahkan kedua mantan petinggi itu sedianya diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penerbitan radiogram untuk pengadaan mobil kebakaran (damkar). Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan mantan Dirjen Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi sebagai tersangka.

"Untuk Danny, kita akan jadwalkan ulang pemeriksaannya. Kita akan sesuaikan dengan waktu penyidik kita juga,"ujar Johan. (Dia/OL-03)
Read Full 0 comments

Remaja Masjid Serukan Hukuman Berat untuk Koruptor

Penulis : Mahfud

Remaja Masjid mendesak koruptor dihukum berat agar muncul efek jera. Hukuman yang terlalu ringan membuat korupsi di Indonesia terus berlangsung.

"Kalau model hukuman yang ada seperti saat ini, kita sangat ragu korupsi bisa dihentikan," kata Said Aldi Al Idrus, Wakil Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia seusai bertemu Wapres Jusuf Kalla di kantor Wapres, Kamis (24/7).

Said merujuk banyaknya koruptor yang hilir mudik ditangkap KPK, polisi dan jaksa. "Seperti tidak ada habis-habisnya, ini karena hukuman tidak menimbulkan efek jera," tegasnya.

Dia menilai seharusnya hukuman yang lebih tegas sampai hukuman mati harus diberlakukan pada pelaku korupsi. Pasalnya dampak korupsi lebih berat terhadap rakyat banyak. "Namun hingga kini tidak satupun pelaku korupsi yang dihukum mati," ujarnya.

BKRMI juga mewanti-wanti Ketua Umumnya, Ali Mochtar Ngabalin untuk tidak ikut-ikutan terlibat korupsi seperti terjadi pada anggota DPR lainnya. "Kita selalu mengingatkan beliau untuk tidak tergoda," jelas Said yang mengklaim anggota BKRMI yang jumlahnya mencapai 6 juta orang di berbagai daerah di Indonesia.

Said yang juga Komandan Nasional BKRMI menyatakan untuk gerakan anti korupsi, BKRMI akan mengadakan kegiatan Perkampungan Remaja Masjid se-Asean, 22 Agustus mendatang di Gowa Sulsel.

Acara yang juga diisi dengan menanam seratus ribu pohon tersebut diharapkan untuk mengembalikan budaya remaja masjid pada budaya Islami yang antikorupsi. (Fud/OL-03/MI)
Read Full 0 comments

Rp 68,5 Miliar Dipakai untuk Menyogok

Dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia atau YPPI sebesar Rp 100 miliar digunakan untuk keperluan tidak jelas. Sebesar Rp 68,5 miliar yang diperuntukkan bagi bantuan hukum mantan pejabat Bank Indonesia diduga digunakan untuk menyogok. Adapun sisanya Rp 31,5 miliar diberikan kepada Komisi IX DPR untuk memperlancar urusan.

Selain memanipulasi keuangan, penggunaan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar juga melanggar Undang-Undang Pencucian Uang dan untuk keperluan tidak jelas.

Hal itu disampaikan mantan Deputi Gubernur Senior BI yang juga Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution saat tampil sebagai saksi dalam perkara penggunaan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar, dengan terdakwa mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (23/7).

Selain Anwar, tampil juga sebagai saksi, mantan Deputi BI/Dewan Pengawas YPPI Maman Soemantri, mantan Gubernur BI Syahril Sabirin, dan Direktur Hukum BI Roswita Roza. Maman Soemantri tampil sebagai saksi sekitar 4,5 jam.

Dalam sidang yang dipimpin Gusrizal, Anwar menyatakan, dana YPPI seluruhnya diambil secara tunai dari rekening YPPI yang ada di BI. ”Ternyata uang itu tidak digunakan untuk Panitia Sosial Kemasyarakatan. Tidak ada satu sen pun yang digunakan untuk kepentingan sosial,” ujar Anwar.

Ketika ditanya majelis hakim mengenai pemberian Rp 31,5 miliar untuk keperluan DPR seperti apa, Anwar menyatakan, ”Pengakuan Rusli (Kepala Biro Gubernur BI) dan Oey (Deputi Direktur di Direktorat Hukum Bank Indonesia) untuk memudahkan urusan mereka di Komisi IX DPR,” ujarnya.

Ditanya apakah ia ikut dalam rapat dewan gubernur tanggal 22 Juli 2003, Anwar mengaku tidak ingat. Majelis hakim menegaskan, semua saksi menyebutkan Anwar ikut rapat dewan gubernur.

Pada bagian lain Anwar mengaku anggota Komisi IX DPR, Antony Zeidra Abidin, pernah datang kepadanya. Dalam pertemuan itu Antony sempat mengeluhkan kenapa hanya namanya yang disebut-sebut BPK dan bertanya bagaimana membereskan hal itu. Ia menyarankan, kalau dana Rp 31,5 miliar dibayar, masalahnya selesai.

Antony juga sempat menyebut nama anggota Komisi IX yang menerima dana, yakni Hamka Yandhu dan Ketua Komisi Paskah Suzetta.

Maman Soemantri dalam kesaksiannya mengakui pemberian dana bantuan hukum untuk mantan pejabat BI atas disposisi terdakwa (Burhanuddin).

Namun, untuk pemberian dana kepada DPR tidak perlu disposisi terdakwa, tetapi cukup disposisi dari Aulia Pohan dan dirinya selaku Dewan Pengawas YPPI. (SON/KOmpas)
Read Full 0 comments

Serbahitam di Ultah Kejaksaan

Hari Bakti Adhyaksa (HBA) yang merupakan ulang tahun kejaksaan menjadi saat yang tepat bagi Jaksa Agung Hendarman Supandji memperbaiki citra Kejaksaan Agung. Hendarman pun mengajak jajarannya untuk mengakui bahwa korps Adhyaksa tengah mengalami krisis kredibilitas.

"Jika kita tidak mengakui, maka kita hanya akan berusaha untuk menutup-nutupi, tidak berupaya sungguh-sungguh memperbaiki," kata Hendarman saat memberikan amanat jaksa agung dalam upacara HBA ke-48 di Kejagung, kemarin (22/7). Menurut dia, krisis kredibilitas bisa dialami berbagai institusi, termasuk negara.

Hendarman mengungkapkan, peringatan HBA ke-48 tahun ini berbeda dengan peringatan pada tahun-tahun sebelumnya. Kali ini suasananya penuh dengan keprihatinan setelah terungkapnya kasus suap jaksa BLBI Urip Tri Gunawan yang menyeret sejumlah nama jaksa senior Kejagung. "Sorotan dan kecaman masyarakat terhadap kejaksaan terus-menerus tanpa henti," kata mantan jaksa agung muda pidana khusus (JAM Pidsus) itu.

Suasana prihatin memang tampak pada atribut yang biasa dipasang layaknya pesta ulang tahun pada umumnya. Umbul-umbul yang dipasang di berbagai sudut gedung Kejagung didominasi warna hitam. Sebelumnya, Hendarman juga meminta peringatan HBA dilangsungkan secara sederhana.

Hendarman mengajak jajarannya untuk kembali memperhatikan perintah harian jaksa agung yang disampaikan pada HBA ke-47 tahun lalu. Perintah berisi empat poin, yakni bekerja profesional, menegakkan hukum, melaksanakan enam tertib, dan menganggap satu musuh sudah cukup, seribu sahabat masih kurang. "Badai pasti akan berlalu jika kita sungguh-sungguh ingin membuktikan diri melalui kerja yang nyata," katanya.

Peringatan HBA kemarin diikuti seluruh jajaran Kejaksaan Agung. Namun, tidak tampak Antasari Azhar, jaksa yang menjabat ketua KPK. (fal/nw/jpnn)
Read Full 0 comments

Golput Pun Kembali Memenangi Pilkada

Budiawan Sidik Arifianto

Semua kandidat dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Jawa Timur, Rabu (23/7), kalah telak! Kandidat itu paling tinggi meraih 25,51 persen suara (Karsa), lalu Kaji (25,36 persen), SR (22,19 persen), Salam (19,39 persen), dan Achsan hanya 7,55 persen. Semua gara-gara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Kandidat yang sudah lelah dan capek mengeluarkan uang untuk kampanye mau tidak mau harus mengulang ke pilkada putaran kedua, sekitar tiga bulan lagi, karena tidak ada yang meraih suara di atas 30 persen. Terutama, pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) dan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji), dua pasangan yang meraih suara terbanyak pada putaran pertama sesuai hasil prediksi Kompas dan sejumlah lembaga survei lain.

Pemenang pilkada kali ini, seperti sejumlah pilkada lainnya, justru golongan putih atau golput. Mereka adalah pemilih yang sengaja tidak menggunakan hak pilih mereka atau tidak mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Angkanya mencapai 39,2 persen. Golongan tak berwarna ini paling besar justru ada di tlatah atau wilayah kebudayaan Pandalungan, yang mencapai 41,3 persen, di sekitar Kabupaten Jember, Probolinggo, Situbondo dan sekitarnya.

Gejala ini dapat diartikan sebagai fenomena kurangnya kepercayaan rakyat terhadap pilkada berikut kontestannya. Bila jumlah golput seperti itu terus meningkat, bukan tidak mungkin ke depan akan menjadi beban psikologis bagi kegiatan politik secara umum. Pasalnya, angka absentee itu merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan demokrasi.

Jika merunut ”sejarah golput”, fenomena golput polos yang emoh ”memilih” warna kuning Golkar, merah (Partai Demokrasi Indonesia), dan hijau (Partai Persatuan Pembangunan) sebenarnya sudah ada sejak tahun 1971, yang dimotori Arief Budiman, Julius Usman, dan Imam Walujo Sumali. Menurut pandangan kaum muda saat itu, nilai dan prinsip demokrasi tidak ditegakkan dan dicerminkan dalam aturan main Pemilu 1971.

Kekecewaan demikian diwujudkan dengan membuat gambar segi lima atau pentagon bergaris hitam, namun dasarnya warna putih sebagai identitas politiknya. Simbol inilah yang dikampanyekan intensif di kalangan tertentu warga perkotaan. Meski upaya memilih ”putih” itu hasilnya tidak signifikan pada Pemilu 1971, gejala ”peng-golput-an” tetap berlangsung pada pemilu selanjutnya.

Golput pasif dan aktif

Memang, hingga kini, untuk memilah seseorang golput atau bukan tidaklah mudah. Dalam sebuah pemilu atau pilkada, golongan tak berwarna masih dalam satu bingkai dengan pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, atau terkumpul menjadi satu dengan perolehan suara tidak sah. Jadi, golput masih memiliki wujud yang relatif bias secara nominal.

Meski memiliki keterbatasan, kedua data itu hingga kini masih dipakai sebagai acuan pendekatan golput secara aktif ataupun pasif. Golput secara aktif umumnya diumbar secara terbuka dan ditunjukkan melalui kampanye atau orasi seperti yang terjadi menjelang Pemilu 1971 di Jakarta dan Pemilu 1992 di Yogyakarta. Sebaliknya, golput pasif umumnya tidak ikut berkampanye, tinggal di rumah saat pencoblosan, atau mencoblos kartu suara sedemikian rupa sehingga surat suara itu tidak sah.

Saat ini golput pasif yang kian marak dipakai sebagai alternatif pilihan masyarakat. Salah satunya terlihat dalam Pilkada Jawa Tengah pada medio Juni lalu. Dari 25,85 juta pemilih terdaftar, hanya 58,46 persen yang hadir mencoblos. Itu pun sekitar 1,1 juta suara tidak sah.

Alhasil, kemenangan pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebesar 43,44 persen, berasal dari perolehan suara sebanyak 6,08 juta atau sebesar 23,53 persen dari pemilih yang ada dalam daftar pemilih tetap. Kenyataan itu menunjukkan legitimasi kepala daerah yang terpilih pun relatif rendah karena banyak pemilih yang tidak menggunakan hak mereka.

Banyak faktor yang dapat menjawab alasan tingginya absensi dalam pilkada itu. Misalnya, isu yang diangkat kontestan umumnya bersifat nasional sehingga kurang menyentuh permasalahan lokal. Lainnya adalah terbatasnya akses informasi mengenai latar belakang calon kepala daerah beserta programnya.

Demikian pula soal citra buruk para politisi, membuat sebagian masyarakat kian yakin untuk absen dalam pencoblosan. Bahkan, kesulitan ekonomi yang membayangi masyarakat pascakenaikan harga bahan bakar minyak pada Mei lalu pun bisa membuat masyarakat kian enggan mendatangi TPS. Sikap rasionalitas demikian umumnya terjadi di daerah perkotaan yang notabene dekat dengan kelas menengah terdidik, berkesadaran politik, dan kritis terhadap pilkada (Joko J Prihatmoko, 2008).

Golput putaran kedua

Sikap golput sebagian masyarakat Jatim ini membuat kontestan yang terpilih untuk mengikuti pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jatim putaran kedua nanti akan tergerus legitimasinya. Apalagi, tren pengalaman ber-golput pada pemilu atau pilkada di Jatim kian meningkat.

Pada pemilihan presiden-wakil presiden tahun 2004 putaran pertama, angka ketidakhadiran pemilih dan suara rusak mencapai 24,60 persen dari daftar pemilih tetap. Besaran itu bertambah menjadi 26,31 persen pada pilpres putaran kedua. Juga angka golput semakin besar lagi pada pilkada rentang 2005-2008. Paling tidak, angka itu melonjak menjadi rata-rata sekitar 34,06 persen di setiap kabupaten dan kota.

Dari ketiga pemilihan itu, Kota Surabaya merupakan daerah yang paling tinggi memiliki tingkat kerawanan golput. Terlihat dari angka absensi dan suara tak sahnya secara konstan di atas 32 persen. Bahkan, pada pilkada terakhir Juni 2005 besarannya mencapai 50,35 persen.

Memang, pada rentang pilkada 2005-2008 yang berlangsung di sekitar 29 kabupaten/kota itu banyak terjadi penggelembungan absentee dan suara rusak. Jika pada pilpres pertama dan kedua hanya ada lima daerah yang memiliki besaran angka ”golput” di atas 30 persen, pada ajang pilkada jumlahnya melonjak menjadi sekitar 20 kabupaten/kota.

Bahkan, ada lima daerah selain Kota Surabaya yang melonjak hingga di atas 40 persen, yakni Kabupaten Blitar sebesar 44,37 persen, Sidoarjo 40,39 persen, Nganjuk 41,50 persen, Kota Malang 40,38 persen, dan Kota Batu 40,25 persen.

Ini tanda pilkada kurang menarik bagi pemilihnya. Menurut beberapa pakar, tingginya angka absensi mengindikasikan kelemahan kandidat dalam memformulasikan isu lokal. Pasalnya, isu yang diangkat terkadang abstrak dan sulit dijabarkan, bahkan bikin bingung karena ada kemiripan isu sehingga sulit untuk menjatuhkan pilihan. Selain itu, ada indikasi rendahnya komitmen sesuai janji kandidat untuk memecahkan permasalahan lokal.

”Siapa pun yang terpilih sama saja. Kondisi Jatim tidak akan banyak perubahan,” tutur ”calon” golput, dua hari menjelang pencoblosan. Percaya tidak percaya, percayalah! (Litbang Kompas)
Read Full 0 comments

Muamir: Saya Lugu-lugu Saja Menerima Uang Itu

Sunday, July 20, 2008
Entah apa yang terjadi dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa. Cobaan bertubi-tubi menghujani partai yang memilih Gus Dur sebagai ikon itu. Kali ini PKB mendapat cobaan berkaitan dengan kasus yang menimpa anggotanya, Yusuf Emir Faisal.

Beberapa waktu lalu Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan suami penyanyi kawakan Hetty Koes Endang ini sebagai tersangka penerima gratifikasi terkait pengalihfungsian hutan lindung untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Si Api-api. Meski belum ada klarifikasi dari KPK mengenai jumlah gratifikasinya, Emir mengatakan, jumlah uang itu Rp 700 juta, sebanyak Rp 500 juta di antaranya untuk pembangunan Kantor LPP DPP PKB.

Namun, pukul 14.30 ini Ketua DPP PKB Muamir Muin Syam membantah uang tersebut masih berada di tangannya ataupun partai. Hanya berbekal selembar kuitansi berwarna merah jambu, Muamir tetap yakin ini akan menjadi bukti kuat jika ia dipanggil KPK lagi. Sayangnya, pada Juni 2008, ia tidak dapat memenuhi panggilan KPK karena mengemban tugas negara. "Kalau sekarang saya siap," tandasnya.

Menurutnya, uang itu hanya dititipkan kepadanya dari Mei 2007 hingga April 2008. Muamir menyangkal ada kedekatan khusus antara ia dan Emir. "Kedekatan hubungan saya dengan beliau sih sama saja dengan kader partai yang lain. Tidak ada yang istimewa," tuturnya. Ia juga menyesal dulu telah menerima titipan uang itu. "Karena amanat, ya saya terima. Saya lugu-lugu saja menerima itu," ujarnya.

BOB
Sent from my BlackBerry © Wireless device from XL GPRS/EDGE/3G Network
Read Full 0 comments

KPK Diusulkan Sadap Telepon Jaksa Agung

Setelah kasus skenario antara Artalyta Suryani dengan Jaksa Urip Tri Gunawan membuat kalangan politisi DPR geram. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk melakukan penyadapan terhadap seluruh jaksa. Tak terkecuali, telepon milik Jaksa Agung Hendarman Supanji. juga layak untuk disadap. Tujuannya, untuk mengetahui apakah ada kaitannya dengan kasus suap Artalyta kepada anak buahnya, Jaksa Urip Tri Gunawan.

"Ya, sangat perlu dilakukan penyadapan oleh KPK kepada semua jaksa termasuk Jaksa Agung. Dan sudah seharusnya, KPK lampu sorotnya diarahkan kepada institusi ini termasuk kepada institusi kepolisian. Adanya KPK sekarang ini adalah berdasar semangat dari tidak efektifnya jaksa dan Polri dalam melakukan pemberantasan korupsi," ujar Sahrin Hamid, salah seorang anggota Komisi III DPR membidangi masalah hukum dan HAM dari Fraksi PAN, Jumat (18/7).

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Kamis (17/7) kemarin terungkap, Artalyta Suryani dan Urip Tri Gunawan mengatur strategi pembelaan diri supaya tidak terjerat pidana dari rutan. Mereka bersepakat, bahwa dana sebesar 660.000 dollar AS yang diterima Urip adalah uang modal untuk mendirikan usaha perbengkelan. Sayangnya, usaha Urip dan Artalyta sia-sia. KPK berhasil membongkar percakapan mereka melalui penyadapan telepon.

Percakapan terjadi pada 10 Juni 2008 saat keduanya berbeda ruang tahanan. Artalyta ditahan di Rutan Mabes Polri dan Urip di Rutan Brimob Kelapa Dua. Untuk menghindari penyadapan KPK, Artalyta menggunakan nomor handphone Singapura. Mereka pun juga menyamarkan diri mereka dengan masing-masing menyebut Pak Guru untuk Urip dan Ibu Guru untuk Artalyta.

Sebelum skenario ini dibongkar jaksa penuntut asal KPK, Artalyta yang ditanya hakim Teguh Harianto mengaku trauma menggunakan pesawat handphone. Sehingga, saat ini tidak menggunakan lagi handphone. Traumanya tersebut lantaran seluruh percakapan teleponnya disadap KPK.

Sahrin Hamid kemudian menambahkan, di internal institusi Kejaksaan Agung dan Polri memang sudah banyak aparatnya yang 'masuk angin' saat menangani perkara. Terlebih banyaknya kasus korupsi saat ini disebabkan karena lemahnya sikap para penegak hukum. "Terkesan, sikap para penegak hukum bisa dibeli oleh para maling-maling. Maka, KPK perlu melakukan upaya pembersihan dengan cara membongkar semua praktek-praktek korupsi oleh institusi ini. Melakukan penyadapan, adalah salah satu cara juga," tegas Sahrin Hamid.

Begitu juga yang diungkapkan oleh anggota Komisi III DPR lainnya dari Fraksi PKB, Iman Ansori Saleh. Tegas dikatakan, mendukung bila KPK melakukan penyadapan kepada semua petinggi Kejaksaan Agung termasuk penyadapan terhadap Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.

"Ini harus dilakukan karena mafia perkara sudah semakin akut dan berpotensi menghancurkan penegak hukum. Termasuk pula kepada para hakim yang membuat rakyat makin tidak percaya lagi dengan semua aparat penegak hukum sekarang ini," cetus Imam Ansori Saleh.

Hanya KPK, lanjut Imam, yang bisa memulihkan kepercayaan masyarakat dalam menegakkan hukum di republik ini. Jadi, sangat wajar kalau KPK harus bekerja ekstra keras menghadapi mafia-mafia peradilan. Jangan takut lakukan penyadapan kalau memang diharuskan untuk membongkar kasus-kasus korupsi lebih besar yang tidak bisa terungkap selama ini," tandasnya. (Persda Network/yat)
Read Full 0 comments

Telepon Artalyta-Urip Membuat Polri Malu

Terungkapnya hubungan telepon antara terdakwa kasus suap Artalyta Suryani dan Jaksa Urip Tri Gunawan untuk mengatur siasat menghadapi jeratan hukum dari tahanan Mabes Polri membuat Polri malu.

Agar kasus memalukan itu tidak terulang kembali, begitu mendengar kabar hubungan telepon dua terdakwa dari dalam tahanan itu, Mabes Polri langsung memeriksa anggotannya yang bertugas dan bertanggung jawab. Di samping itu juga memeriksa kedua tahanan, yakni Artalyta dan Urip Tri Gunawan.

"Sejak dari kemarin sudah ada beberapa anggota dan orang yang bertanggung jawab kita periksa. Termasuk diantaranya meminta keterangan terdakwa. Ini pelanggaran dan memalukan Polri. Sesuai ketentuan tahanan tidak diperbolehkan membawa telepon ke dalam tahanan, sehingga yang bersangkutan tidak bisa berhubungan secara bebas dengan pihak luar," ungkap Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Abubakar Nataprawira, Jumat (18/7).

Menurut keterangan Abubakar, hasil penyelidikan sementara, telepon yang terjadi pada tanggal 5 Juni itu terjadi siang hari sekitar pukul 11.00 WIB. Saat itu terdakwa Artalyta tengah berada di Pengadilan Tipikor untuk mejalani sidang. Ia menghubungi Jaksa Urip Tri Gunawan dengan menggunakan handphone putrinya.

Hubungan telepon kedua, yakni tanggal 10 Juni, terjadi saat Artalyta tengah berada di dalam tahanan Bareskrim Polri. Hubungan telepon Artalyta ke Jaksa Urip Tri Gunawan tanggal 10 Juni ini diperkirakan terjadi sekitar pukul 11.00 WIB. "Artalyta menggunakan handphone putrinya. Tapi sekarang yang tengah diselidiki kapan dan bagaimana handphone putri Artalyta itu bisa masuk ke ruang tahanan Artalyta," kata Abubakar.

Sementara untuk handphone Jaksa Urip Tri Gunawan, Abubakar menyatakan belum mengetahui hasil penyelidikan. Selama ini Jaksa Urip ditahan di tahanan Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Sedang Artalyta ditahan di tahanan Bareskrim Mabes Polri.

"Kita belum dapat menyimpulkan apakah ini kesengajaan atau kelalaian. Apapun, itu sudah merupakan pelanggaran dan harus diberi sanksi. Kita akan bertindak tegas terhadap anggota yang melakukan kesengajaan ataupun kelalaian," tandasnya.

Abubakar menyatakan, kasus memalukan ini sebagai bahan instrospeksi bagi institusi Polri. Jangan sampai ini terulang lagi, baik di Mabes Polri ataupun di tahanan-tahanan Polda, Polres, sampai Polsek. Tidak menutup kemungkinan, hal serupa sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya.

"Ini menjadi bahan instrospeksi bagi Polri. Kita koreksi diri, jangan-jangan hal seperti itu sudah sering terjadi dalam kasus-kasus lain. Harus kita usut tuntas dan kita tindak anggota yang terlibat. Jangan sampai terulang kembali," tegas Abubakar.

Selain mengusut orang-orang yang bertanggung jawab dalam kasus penggunaan telepon Artalyta ini, Mabes Polri juga berjanji akan meningkatkan pengawasan dan memperketat pemeriksaan barang- barang bawaan pengunjung tahanan. "Kita akan ketatkan pengawasan. Jangan sampai ada barang yang di larang yang dibawa masuk ke tahanan," katanya.

Pemantauan Persda Network di Bareskrim Mabes Polri, sejak Jumat (18/7) terlihat pemeriksaan terhadap tamu yang akan menjenguk tahanan semakin diperketat. Sejak dari pintu masuk Bareskrim, mereka tidak perbolehkan membawa handphone. Bagi yang membawa handphone harus dititipkan ke pejagaan. Begitu juga tas bawaan tamu, digeledah sampai benar-benar tidak ditemukan barang bawaan yang dilarang lolos masuk ke tahanan. (Persda Network/Sugiyarto)
Read Full 0 comments
 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Black Newspaper Copyright by Save Our Republik | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks