blog how to, blog trick, blog tips, tutorial blog, blog hack

Thursday, July 24, 2008

Golput Pun Kembali Memenangi Pilkada

Budiawan Sidik Arifianto

Semua kandidat dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Jawa Timur, Rabu (23/7), kalah telak! Kandidat itu paling tinggi meraih 25,51 persen suara (Karsa), lalu Kaji (25,36 persen), SR (22,19 persen), Salam (19,39 persen), dan Achsan hanya 7,55 persen. Semua gara-gara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Kandidat yang sudah lelah dan capek mengeluarkan uang untuk kampanye mau tidak mau harus mengulang ke pilkada putaran kedua, sekitar tiga bulan lagi, karena tidak ada yang meraih suara di atas 30 persen. Terutama, pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) dan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji), dua pasangan yang meraih suara terbanyak pada putaran pertama sesuai hasil prediksi Kompas dan sejumlah lembaga survei lain.

Pemenang pilkada kali ini, seperti sejumlah pilkada lainnya, justru golongan putih atau golput. Mereka adalah pemilih yang sengaja tidak menggunakan hak pilih mereka atau tidak mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Angkanya mencapai 39,2 persen. Golongan tak berwarna ini paling besar justru ada di tlatah atau wilayah kebudayaan Pandalungan, yang mencapai 41,3 persen, di sekitar Kabupaten Jember, Probolinggo, Situbondo dan sekitarnya.

Gejala ini dapat diartikan sebagai fenomena kurangnya kepercayaan rakyat terhadap pilkada berikut kontestannya. Bila jumlah golput seperti itu terus meningkat, bukan tidak mungkin ke depan akan menjadi beban psikologis bagi kegiatan politik secara umum. Pasalnya, angka absentee itu merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan demokrasi.

Jika merunut ”sejarah golput”, fenomena golput polos yang emoh ”memilih” warna kuning Golkar, merah (Partai Demokrasi Indonesia), dan hijau (Partai Persatuan Pembangunan) sebenarnya sudah ada sejak tahun 1971, yang dimotori Arief Budiman, Julius Usman, dan Imam Walujo Sumali. Menurut pandangan kaum muda saat itu, nilai dan prinsip demokrasi tidak ditegakkan dan dicerminkan dalam aturan main Pemilu 1971.

Kekecewaan demikian diwujudkan dengan membuat gambar segi lima atau pentagon bergaris hitam, namun dasarnya warna putih sebagai identitas politiknya. Simbol inilah yang dikampanyekan intensif di kalangan tertentu warga perkotaan. Meski upaya memilih ”putih” itu hasilnya tidak signifikan pada Pemilu 1971, gejala ”peng-golput-an” tetap berlangsung pada pemilu selanjutnya.

Golput pasif dan aktif

Memang, hingga kini, untuk memilah seseorang golput atau bukan tidaklah mudah. Dalam sebuah pemilu atau pilkada, golongan tak berwarna masih dalam satu bingkai dengan pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, atau terkumpul menjadi satu dengan perolehan suara tidak sah. Jadi, golput masih memiliki wujud yang relatif bias secara nominal.

Meski memiliki keterbatasan, kedua data itu hingga kini masih dipakai sebagai acuan pendekatan golput secara aktif ataupun pasif. Golput secara aktif umumnya diumbar secara terbuka dan ditunjukkan melalui kampanye atau orasi seperti yang terjadi menjelang Pemilu 1971 di Jakarta dan Pemilu 1992 di Yogyakarta. Sebaliknya, golput pasif umumnya tidak ikut berkampanye, tinggal di rumah saat pencoblosan, atau mencoblos kartu suara sedemikian rupa sehingga surat suara itu tidak sah.

Saat ini golput pasif yang kian marak dipakai sebagai alternatif pilihan masyarakat. Salah satunya terlihat dalam Pilkada Jawa Tengah pada medio Juni lalu. Dari 25,85 juta pemilih terdaftar, hanya 58,46 persen yang hadir mencoblos. Itu pun sekitar 1,1 juta suara tidak sah.

Alhasil, kemenangan pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebesar 43,44 persen, berasal dari perolehan suara sebanyak 6,08 juta atau sebesar 23,53 persen dari pemilih yang ada dalam daftar pemilih tetap. Kenyataan itu menunjukkan legitimasi kepala daerah yang terpilih pun relatif rendah karena banyak pemilih yang tidak menggunakan hak mereka.

Banyak faktor yang dapat menjawab alasan tingginya absensi dalam pilkada itu. Misalnya, isu yang diangkat kontestan umumnya bersifat nasional sehingga kurang menyentuh permasalahan lokal. Lainnya adalah terbatasnya akses informasi mengenai latar belakang calon kepala daerah beserta programnya.

Demikian pula soal citra buruk para politisi, membuat sebagian masyarakat kian yakin untuk absen dalam pencoblosan. Bahkan, kesulitan ekonomi yang membayangi masyarakat pascakenaikan harga bahan bakar minyak pada Mei lalu pun bisa membuat masyarakat kian enggan mendatangi TPS. Sikap rasionalitas demikian umumnya terjadi di daerah perkotaan yang notabene dekat dengan kelas menengah terdidik, berkesadaran politik, dan kritis terhadap pilkada (Joko J Prihatmoko, 2008).

Golput putaran kedua

Sikap golput sebagian masyarakat Jatim ini membuat kontestan yang terpilih untuk mengikuti pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jatim putaran kedua nanti akan tergerus legitimasinya. Apalagi, tren pengalaman ber-golput pada pemilu atau pilkada di Jatim kian meningkat.

Pada pemilihan presiden-wakil presiden tahun 2004 putaran pertama, angka ketidakhadiran pemilih dan suara rusak mencapai 24,60 persen dari daftar pemilih tetap. Besaran itu bertambah menjadi 26,31 persen pada pilpres putaran kedua. Juga angka golput semakin besar lagi pada pilkada rentang 2005-2008. Paling tidak, angka itu melonjak menjadi rata-rata sekitar 34,06 persen di setiap kabupaten dan kota.

Dari ketiga pemilihan itu, Kota Surabaya merupakan daerah yang paling tinggi memiliki tingkat kerawanan golput. Terlihat dari angka absensi dan suara tak sahnya secara konstan di atas 32 persen. Bahkan, pada pilkada terakhir Juni 2005 besarannya mencapai 50,35 persen.

Memang, pada rentang pilkada 2005-2008 yang berlangsung di sekitar 29 kabupaten/kota itu banyak terjadi penggelembungan absentee dan suara rusak. Jika pada pilpres pertama dan kedua hanya ada lima daerah yang memiliki besaran angka ”golput” di atas 30 persen, pada ajang pilkada jumlahnya melonjak menjadi sekitar 20 kabupaten/kota.

Bahkan, ada lima daerah selain Kota Surabaya yang melonjak hingga di atas 40 persen, yakni Kabupaten Blitar sebesar 44,37 persen, Sidoarjo 40,39 persen, Nganjuk 41,50 persen, Kota Malang 40,38 persen, dan Kota Batu 40,25 persen.

Ini tanda pilkada kurang menarik bagi pemilihnya. Menurut beberapa pakar, tingginya angka absensi mengindikasikan kelemahan kandidat dalam memformulasikan isu lokal. Pasalnya, isu yang diangkat terkadang abstrak dan sulit dijabarkan, bahkan bikin bingung karena ada kemiripan isu sehingga sulit untuk menjatuhkan pilihan. Selain itu, ada indikasi rendahnya komitmen sesuai janji kandidat untuk memecahkan permasalahan lokal.

”Siapa pun yang terpilih sama saja. Kondisi Jatim tidak akan banyak perubahan,” tutur ”calon” golput, dua hari menjelang pencoblosan. Percaya tidak percaya, percayalah! (Litbang Kompas)

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Black Newspaper Copyright by Save Our Republik | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks